Sabtu, 09 April 2011

NORMAN KUMARA,ANTARA SENI DAN KEDIPLINAN PRAJURIT

NORMAN KUMARA, ANTARA SENI DAN KEDISIPLINAN APARAT

Sepekan terakhir ini kita dihebohkan dengan “ulah” kreatif oleh seorang (oknum) aparat penegak hukum Briptu Norman Kumara dari kesatuan Brimob Polda Gorontalo, dengan beraksi lipsing lagu india. Aksi ini tentunya banyak mendapat tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat yang telah melihat di dunia maya ataupun di media elektronik pada beberapa hari ini. Tanggapan tersebut ada yang bersifat pujian dan memberikan dukungan, namun tidak sedikit pula yang tidak memberikan apresiasi positif. Terlepas dari profesinya sebagai seorang anggota polisi yang harus selalu bersikap tegas dan berperilaku disiplin, Norman Kumara adalah juga seorang manusia yang diberikan kelebihan dan kekurangan oleh Sang Pencipta. Dalam hal seni semua manusia pasti memiliki jiwa seni, namun Norman Kumara memiliki cita rasa seni diatas rata – rata orang di lingkungannya. Dia mampu menampilkan ide kreatif dan segar yang belum pernah dilakukan rekan – rekan seprofesinya. Melihat kepada gerakan yang dia peragakan, bagi saya gerakannya masih dalam koridor seorang laki-laki yang bersikap gagah, tidak ke-banci-bancian, dan dia masih menyadari bahwa dia sedang menggunakan atribut sebagai anggota polri yang dituntut berperilaku tegas dan disiplin, apalagi dari kesatuan pasukan gerak cepat brimob. Dalam melihat “kasus” ini, saya mencoba menilai dari beberapa sudut pandang:
1. Sebagai masyarakat awam: saya menilai aksi tersebut bagus, kocak dan menyegarkan. Kita semua yang melihat aksi tersebut pasti tersenyum dan penasaran untuk menikmatinya sampai tuntas. Dari gerakan bibirnya, menunjukkan kalau dia sangat hafal dengan lagu india tersebut. Padahal tidak semua dari kita bisa melafazkan bahasa india. Inilah satu kelebihan dia. Dari mimik wajahnyapun dia nampak dapat memahami apa yang dia ucapkan, walaupun mungkin dia tidak dapat mengartikan kata perkata dari syair lagu tersebut. Gerakannya yang walaupun di tempat (dengan duduk) tetapi hidup seolah sedang menari seperti layaknya penyanyi india, menunjukkan kemampuan terpendam yang dia miliki. Ada semacam (kalau saya boleh menyebut) inner beauty dari aksi yang dia peragakan. Dari sini, saya salut dan senang dengan aksinya.
2. Andaikan saya anggota polri: saya tidak akan ambil pusing dengan apa yang dia kerjakan. Sebagai sesama anggota polri saya bisa memahami betapa berat tugas-tugas yang harus kita emban, walaupun tugas tersebut datangnya dari atasan, tetapi pada dasarnya itu adalah tugas dari Negara. Apalagi dengan gaji aparat kepolisian yang masih standar umum (kalau tidak boleh disebut kurang), beban kehidupan yang harus ditanggung oleh seorang bintara tentulah cukup berat. Padahal sebagai aparat Negara, polisi harus selalu siap setiap dipanggil tugas kapanpun dan dimanapun. Menari, berjoget dan bergurau dengan sesama rekan kerja adalah satu-satunya cara mengatasi keletihan jiwa yang disandang. Dan ini adalah kegiatan positif yang mudah murah dan meriah dilakukan oleh seorang prajurit, daripada berbuat negative yang akan merusak citra kepolisian. Dalam hal ini saya masih mendukung apa yang dilakukan oleh Briptu Norman Kumara.
3. Andaikan saya atasan langsungnya: sebagai atasan langsung, pasti saya akan terkejut di pagi hari melihat berita di media elektronik tiba – tiba muncul wajah yang sangat saya kenal, yaitu salah seorang dari anak buah saya. Kelanjutan dari rasa terkejut itu adalah memberikan penilaian pantas atau tidak apa yang dia lakukan. Selanjutnya saya akan bertanya, bagaimana rekaman ini bisa sampai ke media elektronik dan dunia maya internet, siapa yang meng-upload, apa maksud dan tujuannya. Dari segi kepantasan, menurut saya kurang tepat bagi seorang yang mengenakan seragam dinas dan sedang melaksanakan dinas jaga di pos penjagaan melakukan hal ini. Pada saat dia melakukan aksinya, 90% kewaspadaan jaga hilang, andaikan pada saat tersebut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bersama, dapat diperkirakan pastilah kejadian itu akan menimbulkan lebih banyak korban dari yang semestinya. Pos jaga yang harusnya memiliki kewibawaan sebagai pusat kendali yang mewakili Komandan setempat diluar jam dinas, menjadi tidak ada. Pos jaga tersebut tak ubahnya seperti pos jaga di kampung – kampung dimana para petugas rondanya sedang bermain kartu. Ini ironi sekali, pos jaga sebagai mata pengawas keamanan menjadi tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Untuk point ini, saya tidak setuju dengan aksi ‘kreatif” Briptu Norman Kumara. Artinya saya akan memberikan teguran karena dia telah lalai dalam tugas (walaupun kebetulan tidak ada akibat dari kelalaiannya tsb).
4. Andaikan saya seorang Kapolri: Saya akan tersenyum saat melihat ulah dari salah satu anak buah yang berdinas jauh di wilayah Gorontalo. Saya akan maklumi sebagaimana maklumnya seorang bapak yang melihat tingkah lucu anaknya, sepanjang tingkah tersebut tidak memberikan dampak negative bagi personil dan lembaga kepolisian Negara secara umum. Mungkin hal yang paling jauh saya lakukan, sebatas menghubungi Kasat Brimob dan Kapolda Gorontalo, sekedar konfirmasi apakah benar “pelaku aksi” tersebut adalah seorang anggota brimob yang berdinas di wilayah ini. Artinya saya tidak akan memanggil yang bersangkutan untuk menghadap saya selaku Kapolri di Mabes Polri. Sedemikian besarnya kah kasus ini sehingga Kapolri harus turun tangan? Tidak adakah masalah lain yang lebih pantas dan penting untuk dilakukan dari hanya menunggu kedatangan seorang “polisi penjoget”? Apa kontribusi yang diberikan kepada Negara dari “aksi nyleneh ini”? Tetapi walaupun saya tidak memberikan apresiasi positif, saya juga tidak akan menegur “oknum” anggota saya ini.

Demikian pandangan saya terhadap Briptu Norman Kumara sang polisi joget india.

Penulis: Nurcahya Dwi Asmoro, S.Si.T
Perum Randuagung Indah kebomas Gresik