Oleh: Ginanjar Indrajati
Pembaca mulia, di antara prinsip yang harus dipegang seorang muslim adalah masalah loyalitas dan permusuhan. Kepada siapa loyalitas kita berikan, dan kepada siapa pula rasa permusuhan kita tujukan? Ini merupakan masalah prinsip yang harus dipegang erat, tetapi mulai dilalaikan sebagian kaum muslimin di hari ini.
Dalam pelajaran aqidah Islam, prinsip loyalitas dan permusuhan disebut dengan istilah الولاء و البراء / al-wala’ wal bara’. Maka, dalam buletin edisi ini, akan diurai prinsip tersebut secara ringkas. Wallahu muwaffiq.
Apa itu Al-Wala’ wal Bara’
Al-Wala’ (الولاء) secara bahasa artinya adalah “dekat”. Adapun arti yang dimaksud dalam pelajaran aqidah adalah kedekatan sesama kaum muslimin dalam rasa saling cinta, cinta, saling bantu dan saling tolong di antara sesama mereka, serta kebersamaan mereka dalam hal wilayah tempat tinggal. Termasuk dalam hal ini adalah rasa kebersamaan mereka dalam melawan perbuatan makar musuh-musuh Islam.
Adapun Al-Bara’ (البراء) secara bahasa artinya adalah “memutus” atau “memotong”. Maksud Al-Bara’ dalam pembahasan aqidah adalah pemutusan hubungan atau ikatan hati dari orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.[1]
Kedudukan Al-Wala’ wal bara’ dalam Islam
Allah telah memerintah kita untuk memberikan loyalitas penuh kepada sesama saudara muslim, yang dengannya setiap muslim wajib saling tolong menolong di antara sesama mereka. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah ta’ala surat Al-Maidah ayat 56 yang artinya,
“…Barangsiapa menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Di sisi lain, Allah juga memerintah kita untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat. Hal ini dapat kita ketahui dari firman-Nya dalam surat Al-Mumtahanah ayat 1, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia …“
Berdasarkan hal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tolak ukur rasa cinta, loyalitas, dan benci adalah keimanan kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, yang artinya: “Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.”[2] Maka, konsekuensi dari hal ini adalah loyalitas tidak kita berikan kepada seseorang, jika seseorang tersebut tidak beriman kepada Allah. Dengan kata lain, sebab timbulnya rasa permusuhan dan rasa benci kita kepada orang lain adalah kekafiran orang lain tersebut. Tidakkah kita perhatikan kisah Ibrahim yang berlepas diri dari kaumnya karena kekafiran mereka? Cermatilah kisah tersebut dalam surat Al-Mumtahanah ayat 4 berikut ini, yang artinya “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja’.”
Derajat Kemuliaan Seseorang dapat Diraih, Jika Ia Memegang Teguh Prinsip Al-Wala’ wal Bara’
Seseorang dapat mencapai kemuliaan yang besar di sisi Allah, yaitu Allah akan memberi dirinya derajat kewalian, jika orang tersebut menerapkan prinsip loyalitas dan permusuhan secara benar. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat shahabat Nabi, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu anhuma, “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi rasa loyalitas karena Allah dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya kewalian Allah hanya dapat diperoleh dengan itu.”[3]
Renungilah Sikap Teladan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
Allah ta’ala berfirman, menceritakan orang munafik yang berkata,
“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke kota Madinah, al-a’azzu (orang yang kuat) benar-benar akan mengusir al-adzallu (orang yang lemah) dari kota tersebut.” (Al-Munafiqun: 8)
Orang munafik yang mengatakan demikian adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia menganggap al-a’azzu (orang yang kuat) adalah dirinya, sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam. Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Ketika keinginan Abdullah bin Ubay itu didengar oleh anaknya sendiri yang bernama Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, apalagi dia juga mendengar bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam ingin membunuh Abdullah bin Ubay yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, seketika itu pula Abdullah menemui Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa Anda ingin membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, saya bersedia membawa kepalanya kepada anda”. Maka, Rasulullah shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Bahkan, kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita.”
Ketika Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah (yang shalih) putra Abdullah bin Ubay (yang munafik) berdiri menghadang ayahnya di pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya.
Ketika ayahnya lewat, Abdullah berkata kepada ayahnya, “Mundur!” Ayahnya bertanya keheranan, “Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!” Abdullah menjawab, “Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina).” Maka, ketika Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anaknya, Abdullah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Kemuduan, Abdullah berkata, “Karena Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam telah mengizinkan, lewatlah sekarang!”
Renungilah Pula Sikap Teladan Ramlah Ummu Habibah
Ramlah, yang nama kunyahnya adalah Ummu Habibah adalah putri Abu Sufyan, pembesar Quraisy yang ketika itu masih kafir. Ketika Abu Sufyan datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian gencatan senjata dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi putrinya, yang sudah masuk Islam.
Ketika ia datang ke tempat Ramlah dan ingin duduk di atas kasur Nabi (Ramlah adalah salah satu istri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam), Ramlah dengan segera melipatnya agar tidak diduduki Abu Sufyan. Melihat hal itu, Abu Sufyan pun berkata, “Aku tidak boleh duduk di atas kasur ini atau kasur itu yang tidak pantas untukku?” Ramlah pun menjawab, “Itu adalah kasur Rasulullah, sedangkan ayah adalah seorang yang najis lagi musyrik.”[4]
Dari kisah kedua shahabat nabi, Abdullah dan Ramlah di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa tolak ukur pemberian loyalitas dan rasa cinta hanya diberikan kepada orang yang telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada orang-orang kafir, meskipun itu adalah anggota keluarga kita, meskipun itu adalah ayah ibu kita. Agar lebih meyakinkan hati pembaca, perhatikanlah firman Allah ta’ala berikut ini, yang artinya,
“Kamu tidak akan temui suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun para penentang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka sendiri….” (Q.S. Al-Mujaadilah: 22)
Lalu, Bagaimana dengan Ahli Maksiat?
Pembaca mulia, setelah dipaparkan masalah loyalitas kepada orang muslim dan permusuhan kepada orang kafir, muncullah satu masalah, “Bagaimana kita menyikapi seorang muslim yang banyak melakukan perbuatan maksiat?”
Jawaban pertanyaan di atas adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi sikap loyalitas dari kita) sekaligus mu’adah (diberikan sikap permusuhan dari kita), sesuai dengan kadar maksiatnya. Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya, dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran. Bahkan, kalau perlu mengucilkannya apabila pengucilan itu dapat membuatnya jera dan malu.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid’ah, orang tersebut berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya.[5]
Penutup
Demikian pemaparan ringkas mengenai prinsip Al-Wala’ wal Bara’ (loyalitas dan permusuhan) yang harus diketahui setiap muslim. Dengan ini, mudah-mudahan kita dapat menempatkan rasa loyalitas pada orang yang tepat, dan dapat pula memberikan rasa permusuhan pada orang yang tepat pula, serta dapat memberikan sikap yang benar kepada para ahli maksiat, sesuai kadar kemaksiatannya. Mudah-mudahan tulisan ringkas ini dapat bermanfaat bagi pembaca mulia. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat. [Ginanjar Indrajati]
_____________
[1] Disarikan dari penjelasan Dr. Shalih Al-Fauzan dalam Kitab Tauhid I, terjemah kitab التوحيد للصف الأول و العالي, Yayasan Al-Sofwa – Jakarta, cet. IV/2003, hal. 143.[2] Hadits ini dinyatakan berderajat hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab صحيح الترغيب والترهيب /Shahih At-targhib wat-Targhib/, cet. V, penerbit مكتبة المعارف – الرياض, jilid II, hadits nomor 3030.[3] Periksa dalam المعجم الكبير /Al-Mu’jamul Kabir/ karya سليمان بن أحمد بن أيوب أبو القاسم الطبراني /Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim At-Thabrani/, tahqiq حمدي بن عبدالمجيد السلفي /Hamdi bin Abdil Aziz As-Salafi/, cet. II tahun 1404/1983 M, penerbit: مكتبة العلوم والحكم – الموصل /Maktabah Al’Ulum wal Hikam – Mosul/, jilid XII, hal. 417, hadits nomor 13.537.[4] Lihat dalam أسد الغابة /Usudul Ghabah/ karya ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazairi, hal. 1353 via software المكتبة الشاملة. Lihat pula dalam buku Tegar di Jalan Kebenaran, Dr. Sa’id Al-Qahthani, terjemah kitab مواقف الصحابة في الدعوة إلى الله, penerbit At-Tibyan – Solo, hal.134-135.[5] Periksa dalam مجموع الفتاوى /Majmu’ Fatawa/, jilid 28, hal. 209, via software المكتبة الشاملة.
Minggu, 02 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar