Minggu, 02 Januari 2011

Pluralisme, Paham yang Terbantahkan

Oleh: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Islam, -sebagai agama yang diridhai oleh Allah-, tidak henti-hentinya menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang cukup serius adalah tantangan di bidang pemikiran keagamaan, baik internal maupun eksternal.
Kita sudah mafhum, fanatisme, taklid buta, bid’ah, dan khurafat (kesyirikan) telah menjadi tantangan internal bagi Islam. Namun, masuknya pluralisme[1] ke dalam wacana pemikiran Islam telah menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya karena berusaha meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.
Misi Tauhid = Misi Para Nabi
Pembaca yang dimuliakan Allah, Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan menuju tauhid sebagaimana Dia mengutus para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala bentuk penyembahan kepada thaghut.” (An Nahl: 36).
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa tujuan diutusnya setiap rasul adalah untuk mengeluarkan manusia dari kesyrikan menuju tauhid, dari penyembahan kepada makhuk menuju penyembahan hanya kepada Allah Ta’ala. Tujuan inilah yang menjadi titik temu antara ajaran agama yang dibawa oleh setiap nabi, dari yang pertama hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengutus seorang rasul untuk setiap umat, di setiap generasi dan golongan, mereka semua menyeru (umatnya) untuk beribadah kepada Allah dan melarang untuk beribadah kepada selain-Nya. Maka Allah senantiasa mengutus para rasul-Nya untuk mendakwahkan hal tersebut sejak munculnya kesyirikan pertama kali pada anak Adam, yaitu pada kaum nabi Nuh. Beliaulah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi hingga Allah mengakhiri para rasul tersebut dengan pengutusan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dakwahnya diperuntukkan bagi jin dan manusia, baik yang berada di Timur dan di Barat sebagaimana disinyalir Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al Anbiya: 25)”.[2]
Oleh karena itu, dapat kita jumpai Al Quran sering memberitakan seruan utama para rasul kepada kaumnya yang berisi ajakan untuk menauhidkan Allah dan menjauhi lawannya, yaitu kesyirikan.[3]
Konsepsi Keimanan dalam Islam
Ironisnya, setelah dakwah tauhid menghampiri mereka, umat-umat dari setiap nabi meninggalkan atau menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka mengganti tauhid yang diajarkan oleh para nabi tersebut dengan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka menjadikan nabi-nabi tersebut, yang telah mengajarkan tauhid kepada mereka, sebagai sembahan di samping Allah Ta’ala. Mereka telah meninggalkan konsepsi tauhid yang merupakan konsepsi keimanan seluruh nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala. Jadilah mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah Ta’ala (musyrikin). Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama selain Islam.
Diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk meluruskan penyimpangan tauhid tersebut. Beliau diutus untuk menegakkan konsepsi tauhid para nabi dan itu ditegaskan secara gamblang dalam surat Al Ikhlas (yang artinya), “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlas: 1-4).
Inilah konsepsi tauhid dalam Islam dan merupakan pondasi dasar keimanan seorang muslim. Sangat berbeda dengan konsepsi keimanan Yahudi dan Nasrani. Meskipun kita sama-sama meyakini bahwa Allah adalah sembahan kita, adanya hari berbangkit, yang di sana kita akan bertanggungjawab atas perbuatan kita di hadapan Allah Ta’ala. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara kita dengan mereka. Allah telah memberitakan perbedaan yang mendasar tersebut.
Allah Ta’ala befirman (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah.” (QS. At Taubah: 30).
Ayat ini memberitakan bahwa keimanan mereka sangatlah berbeda dengan apa yang difirmankan Allah dalam surat Al Ikhlas di atas.
Mereka beriman kepada Allah, namun keimanan mereka kepada Allah dicampurkan dengan kesyirikan. Allah telah menyatakan hal itu dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS. Yusuf: 106).
Betul, mereka meyakini eksistensi Allah dan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa di alam semesta. Namun, mereka memiliki sembahan selain daripada Allah Ta’ala. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Allah adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan, sehingga keimanan mereka pun adalah keimanan yang batil, keimanan yang rusak, karena keimanan tersebut bukanlah keimanan yang murni mentauhidkan Allah ta’ala.
Pembaca yang dimuliakan Allah, konsepsi tauhid inilah yang telah membedakan Islam dengan agama selain Islam. Konsepsi inilah yang membuat Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali ‘Imran: 19).
Klaim yang Terbantahkan
Pembaca yang dimuliakan Allah, sudah jelas bahwa terdapat perbedaan berarti antara Islam dengan agama-agama selainnya. Oleh karenanya, sungguh aneh masih saja ada kalangan yang hendak menyamakan antara Islam dengan agama selainnya, terutama dengan apa yang mereka sebut sebagai agama-agama samawi (langit)[4]. Sebagian pengusung paham ini justru berani mengklaim bahwa agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Padahal, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menilai bahwa pernyataan tersebut sangat jelas salahnya. Bahkan, klaim bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang membawa misi tauhid adalah klaim yang sangat tidak tepat, mengingat keduanya justru tidak menegakkan ajaran tauhid, namun menegakkan lawannya, yaitu kesyirikan.
Para pengusung paham ini sering mencomot dalil-dalil dalam Al Quran kemudian melakukan “malpraktik penafsiran”[5] untuk mendukung paham mereka sehingga umat Islam terkelabui. Salah satu dalil[6], -tepatnya dalih-, yang sering diangkat untuk membenarkan klaim mereka bahwa semua agama sama adalah firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 62).
Berdasarkan ayat ini, kaum pluralis menyimpulkan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, melakukan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah, hari akhir dan moralitas yang baik adalah prinsip dasar bagi benarnya keberagamaan seseorang. Oleh sebab itu, meskipun seseorang secara formal tidak memeluk dan menjalankan syari’at Islam, namun bila ia mempunyai tiga prinsip dasar tersebut maka ia akan mendapatkan keselamatan.[7]
Kesimpulan tersebut tidak tepat berdasarkan alasan berikut:
Pertama: Ibnu Katsir rahimahullah telah membawa riwayat dari As Suddi. Beliau menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan para sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka.” Hal itu terasa berat di hati Salman. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. As Suddi kembali melanjutkan bahwa dengan demikian keimanan Yahudi (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa ‘alaihissalam sampai datangnya ‘Isa ‘alaihissalam. Ketika ‘Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti ‘Isa, maka dia adalah orang yang celaka. Dan keimanan Nasrani (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat ‘Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka, dan meninggalkan ajaran ‘Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka.[8]
Ayat ini tidaklah bertolak belakang dengan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran ayat 19. Ibnu Katsir menandaskan bahwa ayat di surat Ali ‘Imran itu merupakan pemberitaan bahwa setelah nabi Muhammad diutus, segala bentuk jalan (thariqah) atau amal yang dilakukan seorang tidak akan diterima oleh Allah melainkan harus sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun, sebelum diutusnya beliau, siapa saja yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam suatu petunjuk, jalan kebenaran, dan keselamatan.
Jadi, ayat ini terkait dengan umat Yahudi dan Nasrani sebelum diutusnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, setelah diutusnya beliau, keabsahan iman umat Yahudi dan Nasrani tergantung keimanan mereka kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan kepada Allah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Ayat-ayat Al Quran saling menjelaskan satu sama lain. Sehingga, tidak sepatutnya kita mencomot salah satu ayat tanpa menghiraukan ayat yang lain. Kaum pluralis ini hendak menyamakan keimanan Islam dengan agama-agama lainnya. Tapi, apakah bentuk keimanan kita sama dengan bentuk keimanan mereka? Jawabnya adalah tidak. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya. Allah memberitakan perihal Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani (yang artinya), “Maka jika mereka beriman seperti keimanan kalian, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Baqarah: 137).
Firman Allah ini jelas menyatakan keimanan mereka tidaklah sama dengan keimanan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk sebelum beriman seperti keimanan kaum muslimin.
Ketiga: Meskipun mereka beriman kepada Allah, tapi bentuk keimanan mereka adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan. Oleh karena itu, Allah mengecap mereka dengan kekufuran.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam.” (QS. Al Maidah: 17).
Beriman kepada Allah akan tetapi juga beriman kepada tuhan selain Allah itu adalah kesyrikan kepada Allah dan itu merupakan kekufuran. Maka tidak ada bedanya antara orang-orang-orang kafir Quraisy dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, tidak ada beda di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6).
Keempat: Dengan adanya penyimpangan tersebut, Allah pun mengutus nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperjuangkan, mendakwahkan, dan menegakkan Islam sehingga Islam menjadi agama yang paling tinggi.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Ash Shaf: 9).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik dia adalah serang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, niscaya dia termasuk ke dalam penduduk neraka.”[9]
Luntur dengan Sendirinya
Demikianlah, para pembaca yang dimuliakan Allah, uraian mengenai kebatilan pluralisme. Paham ini sebenarnya berusaha untuk melunturkan akidah kaum muslimin dengan menggiring secara perlahan-lahan, menggunakan bahasa yang indah memukau, yang dibungkus dengan slogan toleransi beragama. Namun, pada hakekatnya, hal tersebut merupakan upaya untuk menanggalkan akidah kaum muslimin, karena keimanan seorang yang mengamini paham tersebut bisa luntur dengan sendirinya, tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain. Wal ‘iyadzu billah.
Jika dikatakan bahwa pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman. Maka hal ini dapat dijawab bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda. Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum muslimin harus menanggalkan akidah bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia. Konsep menghargai keberagaman (pluralitas) tanpa membenarkan pluralisme itupun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman, silahkan beriman, siapa yang mau kafir, silahkan kafir. Akibatnya tanggung sendiri.[10][11] Wallahul muwaffiq. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
_____________
[1] Paham yang menyatakan semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, dalam pengertian yang lain, pengusungnya menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga -karena kerelatifannya- maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. [Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama; Dr. Adian Husaini].[2] Tafsir al Quran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.[3] Mengenai hal tersebut, pembaca dapat melihat surat Al A’raaf dimulai dari ayat 59 dst.[4] Istilah “agama samawi” (agama langit) ini pun sebenarnya merupakan istilah yang rancu, karena pada hakekatnya agama yang dibawa oleh nabi Musa dan Isa adalah agama Islam, tapi dengan bentuk syari’at yang berbeda satu sama lainnya. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kemudian untuk menyempurnakan ajaran keduanya. Syaikh Shalih alusy Syaikh hafizhahullah memiliki pemaparan ringkas yang sangat bermanfaat dan disertai berbagai dalil mengenai hal ini dalam Syarh Fadl al Islam hlm. 57-59.[5] Para pengusung paham ini sering menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan, di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme. [Pluralisme Agama; Tiar Anwar Bachtiar].[6] Pembaca yang berkeinginan melihat lebih lanjut analisa berbagai ayat yang dipelintir oleh kaum pluralis dapat melihat artikel saudara kami, Abu Mushlih, yang berjudul Tumbangnya Pokok-Pokok Pluralisme dan artikel Bapak Muhammad Nurdin Sarim yang berjudul Telaah Kritis Pluralisme Agama.[7] Telaah Kritis Pluralisme Agama hlm. 9; Muhammad Nurdin Sarim.[8] Tafsir al Quran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.[9] HR. Muslim: 153.[10] Al Kahfi: 29.[11] Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama.

Tidak ada komentar: