Puncak acara, adalah detik-detik terakhir menuju tepat pukul 00.00. Tanpa dikomando, serentak terompet dibunyikan di berbagai penjuru dunia.
Terompet telah identik dengan tahun baru Masehi. Anak kecil, remaja, orang dewasa dan tidak ketinggalan para lanjut usia apapun ras dan agamanya termasuk kaum Muslimin dengan wajah riang dan suka cita meniup terompet untuk menyambut datangnya tahun baru tersebut.
Meniup terompet merupakan salah satu dari sekian banyak cara menyambut dan merayakan tahun baru Masehi. Masih ada banyak cara, acara, upacara dan aktivitas lainnya yang diadakan. Ada pula acara-acara yang diadakan oleh sebagian kaum Muslimin yang mengambil lokasi di beberapa tempat seperti masjid, lapangan dan sekolah. Acara-acara tersebut diisi dengan aktivitas-aktivitas yang bernilai Islam seperti muhasabah, tausiyah, mabit. Juga diisi dengan do’a, tahlil, tahmid dan dzikir berjama’ah, Bahkan perlunya muhasabah dan memanjatkan do’a pergantian tahun dalam menyambut tahun baru Masehi disinggung sebagian ustadz, ustadzah, da’i, da’iyah dan khotib di dalam ceramah, tausiyah dan khutbah mereka
Semua aktivitas dan acara yang berkaitan dengan datangnya tahun baru Masehi - baik yang bernilai Islam maupun yang tidak - telah menjadi adat kebiasaan, keharusan serta gaya, pola dan cara hidup banyak orang Islam di banyak tempat. Semua itu dianggap wajar oleh mereka. Meniup terompet dan melakukan berbagai aktivitas acara tahun baru tersebut dilakukan dengan senang dan ringan hati tanpa bersikap kritis dan mempertanyakan apakah yang dilakukannya bernilai ibadah atau tidak. Pertanyaan tersebut sangat vital bagi setiap Muslim karena tujuan hidup diciptakannya manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)
Semua aktivitas dan acara yang berkaitan dengan datangnya tahun baru Masehi - baik yang bernilai Islam maupun yang tidak - telah menjadi adat kebiasaan, keharusan serta gaya, pola dan cara hidup banyak orang Islam di banyak tempat. Semua itu dianggap wajar oleh mereka. Meniup terompet dan melakukan berbagai aktivitas acara tahun baru tersebut dilakukan dengan senang dan ringan hati tanpa bersikap kritis dan mempertanyakan apakah yang dilakukannya bernilai ibadah atau tidak. Pertanyaan tersebut sangat vital bagi setiap Muslim karena tujuan hidup diciptakannya manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)
Jika bernilai ibadah, apapun pekerjaan yang bersifat duniawi akan mendatangkan pahala dan ridho Allah. Jika tidak bernilai ibadah, pelakunya hanya akan mendapatkan hal-hal yang bersifat duniawi. Itu adalah sebuah kerugian bagi seorang Muslim. Pekerjaan apapun selain ibadah yang bersifat ukhrowi bisa bernilai ibadah dan bisa diniatkan sebagai ibadah jika pekerjaan tersebut termasuk kategori amal sholeh, serta baik dan benar menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Selain itu jika melakukannya atas dasar iman, serta ada niat di dalam hati melakukan pekerjaan tersebut untuk menggapai ridho Allah.
Pertanyaan kedua, yang harus dijawab adalah jika tidak bernilai ibadah apakah perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Jika memang jelas itu adalah perbuatan dosa, maka setiap Muslim berkewajiban untuk tidak mempraktekkannya, serta menasehati dan mencegah orang lain terutama keluarga dan kerabat agar tidak melakukannya.
Pertanyaan kedua, yang harus dijawab adalah jika tidak bernilai ibadah apakah perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Jika memang jelas itu adalah perbuatan dosa, maka setiap Muslim berkewajiban untuk tidak mempraktekkannya, serta menasehati dan mencegah orang lain terutama keluarga dan kerabat agar tidak melakukannya.
Allah berfrman yang artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr [103]:2-3)
Hakekat Tahun Masehi
Tahun Masehi adalah perhitungan tahun yang menggunakan kalender Julian dan Gregorian. Dalam bahasa Inggris dan dipergunakan secara internasional, istilah Masehi yang biasanya disingkat M disebut “Anno Domini” (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan Sebelum Masehi yang biasanya disingkat SM disebut sebagai “Before Christ” (BC) yang berarti Sebelum Kristus. Kalender Julian dibuat oleh Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes seorang ahli astronomi dari Iskandariyah.
Kelender Masehi mulai dihitung dari tahun 1 M yang dianggap sebagai kelahiran Isa Al-Masih. Sedang masa sebelum kelahirannya disebut dengan Sebelum Masehi. Tahun Masehi dimulai dengan bulan Januarius yang diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satunya menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju Tahun yang baru.
Sedangkan kalender Gregorian adalah kalender yang digunakan untuk mengoreksi dan menggantikan kalender Julian yang berlaku sejak 47 SM. Yang mengusulkannya ialah Dr. Aloysius Lilius dari Napoli Italia dan direstui oleh Paus Gregorius XIII pada tanggal 24 Februari 1582. Kalender ini disebut Gregorian karena dekritnya dikeluarkan oleh Paus Gregorius XIII. Pada awalnya kalender ini digunakan untuk menentukan jadwal kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan, serta untuk menentukan hari perayaan Paskah yang berlaku di seluruh dunia.
Sedangkan kalender Gregorian adalah kalender yang digunakan untuk mengoreksi dan menggantikan kalender Julian yang berlaku sejak 47 SM. Yang mengusulkannya ialah Dr. Aloysius Lilius dari Napoli Italia dan direstui oleh Paus Gregorius XIII pada tanggal 24 Februari 1582. Kalender ini disebut Gregorian karena dekritnya dikeluarkan oleh Paus Gregorius XIII. Pada awalnya kalender ini digunakan untuk menentukan jadwal kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan, serta untuk menentukan hari perayaan Paskah yang berlaku di seluruh dunia.
Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM oleh bangsa Romawi dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Setelah itu, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar dewa Janus. Selain saling memberikan hadiah di antara mereka, rakyat Romawi juga mempersembahkan hadiah kepada para kaisar. Lambat laun para kaisar pun mewajibkan rakyatnya untuk mempersebahkan hadiah-hadiah kepada mereka.
Pada Abad Pertengahan, setiap tanggal 25 Maret mayoritas bangsa Eropa merayakan pergantian tahun sebagai hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan. Selanjutnya pada tahun 1582 Paus Gregorius XIII mengubah hari perayaan tahun baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari kembali.
Di zaman ini kita bisa menyaksikan sendiri kedatangan tahun baru Masehi pasti beriringan dengan hari raya umat Kristen yakni Natal. Kita juga bisa menyaksikan sendiri dengan mudah ucapan hari Natal selalu satu paket dengan ucapan selamat tahun baru Masehi yang berbunyi “Merry Christmas and Happy New Year” (Selamat Natal dan Tahun Baru).
Di zaman ini kita bisa menyaksikan sendiri kedatangan tahun baru Masehi pasti beriringan dengan hari raya umat Kristen yakni Natal. Kita juga bisa menyaksikan sendiri dengan mudah ucapan hari Natal selalu satu paket dengan ucapan selamat tahun baru Masehi yang berbunyi “Merry Christmas and Happy New Year” (Selamat Natal dan Tahun Baru).
Dengan demikian jelaslah bahwa perayaan menyambut tahun baru Masehi adalah salah satu hari suci umat Kristen, serta identik dengan dan tidak bisa dipisahkan dari ajaran pagan Romawi dan agama Kristen.
Kesimpulan dan Harapan
Setelah mengetahui kenyataan tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa menyambut dan merayakan tahun baru Masehi meskipun yang bernilai “Islam” tidak bisa dikategorikan sebagai ibadah dan tidak bisa diniatkan sebagai ibadah. Bukan hanya itu, bahkan semua cara, acara dan aktivitas meskipun sekedar meniup terompet untuk menyambut dan merayakan tahun baru Masehi merupakan perbuatan dosa dan tidak diridhoi Allah, serta mendatangkan murka dan azab Allah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim disebutkan ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa kepada beliau karena ia telah bernadzar untuk menyembelih hewan di sebuah tempat bernama Buwanah, maka beliau bertanya kepadanya: “Apakah di tempat tersebut terdapat berhala orang Jahiliyah?” Dia menjawab: “Tidak”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Apakah tempat tersebut digunakan untuk merayakan hari raya mereka?” Dia menjawab: “Tidak”. Maka beliau bersabda: “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” .
Dalam sebuah hadits yang diriwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim disebutkan ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa kepada beliau karena ia telah bernadzar untuk menyembelih hewan di sebuah tempat bernama Buwanah, maka beliau bertanya kepadanya: “Apakah di tempat tersebut terdapat berhala orang Jahiliyah?” Dia menjawab: “Tidak”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Apakah tempat tersebut digunakan untuk merayakan hari raya mereka?” Dia menjawab: “Tidak”. Maka beliau bersabda: “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” .
Dari hadits tersebut diatas dapat mudah dipahami haram hukumnya menyembelih hewan untuk Allah di tempat-tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan yang dipersembahkan kepada selain Allah. Juga haram menyembelihnya di tempat-tempat yang digunakan orang-orang kafir untuk merayakan hari raya mereka. Dengan menyembelihnya di tempat-tempat tersebut dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik kepada Allah dan berarti ikut mensyi’arkan syi’ar-syi’ar ajaran pagan dan agama-agama lain.
Semoga diri, keluarga dan generasi penerus kita tidak ikut-ikutan menyambut dan merayakan hari suci pemeluk ajaran pagan dan agama-agama lain. Semoga terbebas dari perbuatan syirik dan dari usaha-usaha mensyi’arkan ajaran pagan dan agama-agama selain Islam. Mari kita menyambut ridho Allah!
Abdullah al-Mustofa. Penulis adalah mahasiswa program Master ‘Ulumul Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia) dan ketua FUSSI (Forum Ukhuwah Sarjana Studi Islam) di IIUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar